Senin, 20 April 2009

Yohanes Surya

DI tengah situasi pendidikan nasional yang masih berkabut, terbetik kabar membanggakan. Siswa-siswa duta Indonesia kembali mempersembahkan medali emas pada ajang adu pintar fisika tingkat dunia di Pohang, Korea Selatan, pekan lalu.
Lewat Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) yang dipimpinnya, Prof Johanes Surya PhD menjelma sebagai sosok yang memiliki andil terbesar dalam peraihan prestasi gemilang itu.
Di salah satu ruang "inkubator" fisikawan muda kampus Universitas Pelita Harapan, kompleks Lippo Karawaci Tangerang, Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (terhitung sejak 1 Agustus 2004) itu bertutur panjang kepada Suara Merdeka. Tentang trik-triknya, juga obsesi-obsesinya. Berikut petikannya.
Anda pernah bilang, jika diberi murid yang cocok, murid itu akan memperoleh medali emas pada Olimpiade Fisika. Benarkah?
Benar. Dalam Olimpiade Fisika, ibarat orang mau perang, kita harus tahu strategi, musuh kita siapa. Kalau sudah mengenali musuh, penyerangan akan lebih gampang dilakukan.
Saya sudah mempelajari semua itu, sehingga tahu tindakan yang mesti saya tempuh supaya memenangi pertandingan. Pertama, anak-anak harus dilatih untuk mengerjakan soal-soal fisika yang levelnya tinggi sekali, yaitu soal-soal tingkat universitas, terutama tingkat magister (S2) dan doktor (S3). Kedua, dia harus bekerja cepat sekali. Ketiga, aktif dan efektif. Keempat, dia harus menguasai alat-alat eksperimen. Terhadap setiap percobaan yang pernah ada dalam Olimpiade sebelumnya, dia harus mampu melakukannya. Hal-hal itu sangat penting.
Apa yang Anda maksud dengan "murid yang cocok"?
Pertama, siswa itu harus siswa yang ngotot. Kedua, mempunyai kemampuan bagus, inteligensinya tinggi. Ketiga, mempunyai keterampilan untuk bereksperimen. Dengan tiga hal itu, saya jamin, saya latih dua tahun, dia akan bisa merebut medali emas.
Sudah menemukan lagi?
Sekarang, untuk Olimpiade di Barcelona Spanyol tahun depan, saya sudah punya tiga calon kuat. Karena itu, saya berani menjanjikan, tahun depan di Barcelona kita paling tidak bisa raih tiga emas.
Anda berniat membeberkan "rahasia" itu kepada khalayak?
Saya open saja supaya siapa pun bisa mempelajarinya. Tapi ke negara lain, nggak.
Sudah Anda tuangkan dalam bentuk tertulis, buku misalnya?
Dalam berbagai kesempatan, saya sudah membicarakannya dengan Diknas, dengan banyak teman. Mereka pada dasarnya sudah tahu, kalau mau mendapatkan emas di Olimpiade Fisika, mesti berbuat apa. Jadi, sudah ada gambaran.
Bagaimana sesungguhnya posisi Indonesia dalam kancah kompetisi fisika tingkat dunia?
Saat ini kita masuk lima besar. Pada Olimpiade Fisika di Korea tempo hari, kita meraih satu emas, satu perak, dan dua perunggu, serta satu honourable mention. Perorangannya kita peringkat keenam dari 332 peserta. Peringkat perorangan kita jauh lebih baik dari Rusia, India, Taiwan, Hongaria, bahkan tuan rumah Korea. Negara-negara seperti Eropa Barat, Jerman, dan Inggris jauh di bawah kita. Jadi, posisi kita di level internasional luar biasa bagus. Orang-orang sudah menganggap kita negara kuat. Jadi, tak perlu rendah diri lagi.
Belasan tahun Anda mengelola inkubator fisikawan muda. Anda merasakan ada kemajuan berarti?
Kita kian lama makin baik. Karena itu, kita memiliki target tahun 2006 juara dunia. Bagaimana mencapai target itu? Ini yang sedang kami jalankan dengan Departemen Pendidikan Nasional, sehingga kita harapkan 2006 dan seterusnya bisa menjadi juara dunia. Paling tidak kita akan bersaing ketat dengan China. China selama ini juara dunia, ia dapat lima medali emas.
Negara kita memang potensial sebagai penyedia anak-anak yang menurut Anda cocok sebagai perebut medali emas?
Sangat potensial. Saya kemarin melatih anak Papua. Dia juara dunia riset. Itu baru dari Papua yang sering dianggap daerahnya paling belakang, identik dengan kemalasan, kebodohan. Tapi nyatanya, anak-anaknya bisa jadi juara dunia. Saya juga beberapa kali punya siswa yang bagus dari Makassar, Manado, dan Bali. Semua itu daerah-daerah potensial. Mereka jika dilatih dengan baik, diarahkan dengan baik, potensi untuk menjadi juara makin besar.
Dibandingkan dengan negara pesaing, terutama China, apakah pola pembinaan terhadap calon fisikawan di negeri ini sudah terbilang memadai?
Pembinaan, belum. Itu yang sedang kita bicarakan dengan Diknas. Dua tahun ke depan kita bina gurunya untuk menyiapkan siswa-siswa berbakat. Kita harapkan sekali, melalui guru-guru ini siswa-siswa kita bisa dibina, diarahkan dengan baik. Itu yang kita harapkan. Pola pembinaannya sendiri makin lama makin bagus. Dan bisa saya katakan, kita bisa bersaing dengan pola pembinaan China. Kalau program yang sudah saya buat dengan Diknas dijalankan, peluang (menjadi juara umum) sangat besar. Selama ini kita sudah baik, tapi kita tentu ingin lebih baik lagi.
Bagaimana mekanisme perekrutan dan penggemblengan yang dilakukan oleh TOFI?
Selama ini ada Olimpiade Fisika Nasional. Setiap tahun Diknas mengadakannya. Dari Olimpiade Nasional itu kita pilih 30 orang, lalu kita latih mereka selama satu bulan, lalu kita pilih sepuluh. Sepuluh itu kita latih enam bulan, kita pilih delapan. Delapan kita pilih lagi selama dua bulan, menjadi lima. Lima itulah yang kita kirim ke Olimpiade Dunia.
Pola seperti ini sudah cukup lumayan, tapi harus terus dipoles. Idealnya, yang di-training awal guru. Guru di-training, kemudian guru men-training anak-anak. Satu tahun guru mengikuti training. Lalu dari hasil training guru itu, siswa-siwa yang berbakat dikumpulkan, baru kami yang melakukan training. Bila cara itu dilakukan, kita akan lebih bagus lagi menemukan dan mengasah bakat-bakat itu.
Ada yang berpendapat penanganan anak berbakat di negeri ini nyaris tak pernah berkelanjutan? Malahan konon anak yang baru saja mendapat medali di Olimpiade Dunia, hendak ke ITB saja masih bingung soal biaya. Bagaimana ini?
Memang penanganan anak-anak berbakat belum berjalan dengan baik. Padahal, anak berbakat itu banyak sekali. Biasanya yang disebut anak berbakat itu sekitar 2% populasi anak-anak. Kalau 2% itu bisa dipoles dengan baik, sumber daya manusia kita akan sangat kuat.
Apa yang semestinya dilakukan pemerintah agar prestasi yang telah teraih tidak mandek?
TOFI selama ini mencarikan beasiswa untuk kelanjutan studi ke universitas-universitas luar negeri, seperti ke California Institute Technology, Tokyo University, National Taiwan University, Singapura, dan Amerika. Kami salurkan mereka semua. Saat ini dari alumni TOFI, 48 orang dari 60 orang atau 80% studi di luar negeri.
Sejak 1993 Anda memoles para calon fisikawan. Apakah dari upaya itu telah lahir fisikawan andal?
Sudah. Alumnus 1995 sudah jadi profesor fisika di Amerika. Namanya Nelson Tanso. Dia jadi profesor di Lehigh University Pennsylvania dalam usia 25 tahun, dan banyak lagi yang sedang mengambil program doktor. Mungkin dua tahun lagi sudah banyak yang lulus. Yang lain, banyak riset menarik lahir dari tangan mereka.
Apa target Anda jangka pendek, juga jangka panjang?
Jangka pendek, 2006 juara dunia, 2005 kita dapat tiga emas, 2006 lima emas. Ya, 2006 dan seterusnya kita selalu jadi juara dunia. Kemudian 2020, peraih Nobel Fisika dari Indonesia.
Bagaimana mewujudkannya?
Tidak susah. Pertama, mengirimkan semua peraih medali emas itu ke luar negeri dan kita carikan sponsor. Lalu mereka belajar langsung dari peraih Nobel. Karena setiap hari bertemu dengan peraih Nobel, cara nalar mereka akan mirip dengan peraih Nobel. Dengan begitu, lima belas tahun ke depan kita akan meraih Nobel. Itu cita-cita dan harapan saya untuk mereka.
Itu yang membuat Anda cenderung mencarikan sponsor dan sekolah ke luar negeri buat mereka?
Ya. Biar mereka selalu terinduksi oleh cara nalar para peraih Nobel.
Mengapa bukan Anda sendiri yang mendekat pada para peraih Nobel agar kelak Anda juga meraih hadiah paling bergengsi itu?
Kalau saya berusaha meraih Nobel, konsentrasi saya harus ke sana. Kalaupun saya dapat, saya cuma seorang. Sebaliknya kalau saya mempersiapkan banyak orang, ratusan orang bisa memiliki kesempatan untuk meraih Nobel dan peluangnya lebih besar dibandingkan dengan saya seorang diri. Bukankah lebih baik harus ada yang berkorban untuk orang lain.
Indonesia makin disegani dalam bidang fisika. Namun di sekolah, bersama matematika, fisika tetap saja menjadi momok bagi sebagian besar pelajar kita. Adakah yang salah?
Kesalahannya adalah penyajian pengajaran fisika. Banyak yang mengajar tidak dengan fun. Padahal, semestinya mereka mengajar lebih menyenangkan, lebih fun. Jangan bicara rumus dulu. Kalau bisa, bicara teori dan konsep dulu. Seorang yang bisa menguasai konsep dengan baik, ke depannya soal-soal fisika akan terasa lebih mudah. Jadi, yang membuat anak-anak ketakutan, guru-guru masih berkutat pada rumus dulu, bukan teori dan konsep dulu.
Sebangun dengan paradigma pelajaran fisika humanis yang belakangan ini didesakkan oleh sejumlah tokok paedagogi fisika kita?
Sesungguhnya fisika itu humanis, menyenangkan. Karena menyenangkan, semestinya ia disampaikan secara menyenangkan. Guru tidak usah galak-galak. Guru sebaiknya santai, memberikan dengan senyum.
Anda agaknya juga terobsesi pada gagasan besar Prof Dr Paul Ormerod untuk mengembangkan ekonofisika?
Ya. Ekonofisika itu sesungguhnya aplikasi fisika untuk bidang-bidang ekonomi. Namun saat ini fokus utamanya pada keuangan. Kenapa saya tertarik pada ekonofisika? Alasan utamanya, saya ingin mengembangkan fisika di Indonesia. Artinya, kalau orang-orang itu semula begitu takut pada fisika, mudah-mudahan dengan ekonofisika, ketakutan itu akan berkurang, sehingga kita harapkan ke depan fisika bukan menjadi momok lagi, melainkan menjadi alat yang berguna bagi ilmu-ilmu lain, seperti untuk meramal saham. Bukankah itu menyenangkan. Dengan begitu, fisika tak lagi menakutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar