Senin, 20 April 2009

Profil

Pendekatan Sosial Budaya Max J Wajong.

20 tahun tinggal menetap di pedalaman Irian Jaya membuat Max J Wajong, sangat memahami dan mendalami adat istiadat dan budaya hidup suku-suku di daerah kepala burung tersebut. Antara lain, dengan suku Asmat dan suku Amugme. “Mereka punya cara-cara dan norma sendiri dalam menjaga alam, dan karena itu pula mereka bisa tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya,” kata pria angkatan 66 yang dikenal bersahabat dengan pengusaha Sofyan Wanandi tersebut.
Sebaliknya, pria yang memilih hidup melajang tersebut justru menyesalkan kekeliruan yang dilakukan oleh otoritas pemerintahan di tingkat pusat dalam upaya meningkatkan harkat dan derajat hidup suku-suku tersebut. “Tidak ada social cultural approach dalam pembangunan sehingga tidak sesuai dengan nilai-nilai, tata cara hidup dan adat istiadat masyarakat setempat,” kata adia.
Max mencontohkan, saat pemerintah atas nama perlindungan terhadap binatang langka yang dilindungi, melarang suku Asmat memburu dan mengkonsumsi buaya. “Saya tidak yakin jika aktifitas berburu buaya di sana dapat memusnahkan populasi buaya disana karena suku-suku di Irian jaya memiliki aturan main dan adat buaya yang dapat menjaga populasi buaya di sana,” kata pria yang sejak tahun 2001, tidak lagi sepenuhnya tinggal dan menetap di pedalaman Irian Jaya.
Aturan adat budaya berburu buaya yang dimaksud Max adalah, karena norma yang berlaku pada suku-suku tadi melarang memburu buaya anakan. Kedua, mereka juga tidak pernah memburu buaya indukan karena dagingnya sudah keras sehingga dagingnya tidak enak dimakan. “Jadi selain memburu dalam jumlah kecil aturan ini juga dapat menjaga kelangsungan populasi buaya sebab yang anakannya bisa besar dan yang induknya dapat berbiak lagi,” tambah dia. Karena itulah, sensus terhadap populasi buaya di Irian Jaya yang dilakukan UNDP beberapa waktu lalu menunjukkan terdapat 7 juta populasi buaya di sana. “Jelas tidak mungkin musnah karena populasi penduduknya saja hanya 1,7 juta. Lebih banyak buayanya daripada orangnya,”.
Contoh lain menurut Max, saat PT Freeport Indonesia, atas nama corporate social responsibility merelokasi suku Amugme dari kawasan tempat tinggal mereka di pengunungan bagian utara yang berhawa dingin ke bagian selatan yang berudara panas. Ternyata, rumah-rumah bergaya kota dengan atap seng dan jendela nako tidak dapat terpakai. Udara panas dan kawasan selatan yang berawa menyebabkan banyak masyarakat suku Amugme yang terkena penyakit malaria. “Ini sama saja dengan pemusnahan etnis secara perlahan-lahan. Suku Amugme yang tinggal di kawasan salju abadi tidak terbiasa dengan udara panas dan kawasan berawa yang banyak nyamuk,” kata dia. Karena itulah, dia berpendapat alangkah baiknya jika upaya-upaya meningkatkan harkat dan martabat suku-suku tadi dilakukan dengan pendekatan sosial budaya. Tidak sekedar memfotocopi pembangunan yang ada di perkotan seperti di Jakarta. Misalnya saja dalam pembangunan puskesmas, SD inpres dan rumah-rumah penduduk.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar