Senin, 20 April 2009

Profil UKM

AR-RUM SARI
MENYEBARLUASKAN BUDAYA SOLO

Melalui badan usaha rias penganten yang ia kelola dengan bendera Ar-Rum Sari, Dra. Hj. Soekiyah Nayono berusaha memberi andil dalam pelestarian dan penyebarluasan budaya dan tradisi Solo.

Selama ini, Solo memang dikenal sebagai kota budaya. Tidak berlebihan jika berbagai hal yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat Jawa, Solo menjadi salah satu rujukan masyarakat. Dalam hal rias pengantin, misalnya, kota yang berjarak 30 kilometer sebelah timur Yogyakarta ini sangat dikenal sebagai pusatnya para perias pengantin adat Jawa.
Menurut Dra. Hj. Soekiyah Nayono, salah seorang penyedia jasa rias penganten asal Solo berlabel Ar-Rum Sari, popularitas kota Solo sebagai pusat budaya Jawa, memang telah membantu tumbuhnya bisnis jasa rias penganten di kota tersebut. Meski begitu, dari sekian banyak juru rias tersebut, menurut Soekiyah, yang benar-benar menguasai tradisi dan budaya Solo dalam sebuah prosesi pernikahan, jumlahnya tidak terlalu banyak. “Selebihnya ya Cuma ikut-ikutan,” katanya.
Pada awalnya, menurut Soekiyah, usaha yang ia kelola sejak tahun 1970-an itu merupakan bisnis sampingan. Pekerjaan utama Soekiyah adalah guru di sebuah SMU di kota Solo. Sebagai pendidik, prestasi Soekiyah cukup membanggakan. Pada tahun 1991, misalnya, ketika ada program beasiswa untuk pelatihan dan peningkatan guru bidang kejuruan di Amerika Serikat, Soekiyah termasuk salah satunya. “Padahal, waktu itu seleksinya sangat ketat. Harus bisa Bahasa Inggris, komputer dan sebagainya,” kata Soekiyah mengenang. Selama kurang lebih berada di negeri Paman Sam, Soekiyah berkesempatan mengunjungi sejumlah universitas dan melakukan sosialisasi dengan warga sekitar.
Meski telah berkesempatan ke luar negeri, toh tetap saja Soekiyah melihat bahwa profesi guru secara finansial kurang mendukung ekonomi keluarga. Karena itu, sambil menjalani profesinya sebagai guru, Soekiyah sedikit demi sedikit mulai membesarkan usaha rias pengantennya. Dulu, ketika memulai usaha, Soekiyah hanya memerlukan modal sebesar dua bulan gajinya sebagai guru. Namun, dalam perjalanannya kemudian, seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan, modal yang telah ia benamkan mencapai lebih dari Rp200 jutaan.
Dari sisi staf yang dikaryakan juga terus bertambah, dari semula hanya tiga orang menjadi belasan orang. Hebatnya, meski tanpa promosi dan publikasi yang memadai dan hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, rias penganten milik Soekiyah telah melanglang berbagai kota di Indonesia, seperti Jogjakarta, Bandung, Jakarta, Surabaya, Sumatra Selatan, bahkan sampai ke Manado.
Soekiyah mengaku tak memiliki kiat-kiat khusus dalam mengelola Ar-Rum Sari. “Kuncinya ya biasa saja, kami bekerja secara amanah dan profesional. Bahan-bahan kosmetika yang kami gunakan senantiasa dikonsultasikan dengan pelanggan agar mereka tidak kecewa,” kata Soekiyah. Dalam hal tarif, Soekiyah juga mengaku tak terlalu kaku dalam mematok harga. Ia memaparkan, ada beberapa paket yang ia tawarkan dengan kisaran harga Rp10 jutaan per paket. “Ini pun masih bisa disesuaikan lagi dengan kondisi dan selera pelanggan,” katanya.
Harga sebesar itu merupakan harga paket yang terdiri dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Berbeda dengan perkawinan nasional yang serba praktis, perkawinan adat Solo memerlukan rangkaian prosesi yang sangat panjang. Sehari sebelum pernikahan, misalnya, biasanya gerbang rumah pengantin perempuan akan dihiasi Tarub atau janur kuning yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan dan daun-daunan. Di sini ada dua pohon pisang dengan setandan pisang masak pada masing-masing pohon yang melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada.
Ada juga tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran sehat dan cengkir gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain. Selain itu, di atas gerbang rumah juga dipasang hiasan dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada acara pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum Ijab atau upacara pernikahan, dilangsungkan siraman untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka. Ada tujuh penolong yang biasanya terdiri dari tujuh orang yang dianggap baik atau penting - yang membantu acara ini. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan kehidupan. Keluarga pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan membawa Banyu Perwitosari ke kediaman keluarga pengantin pria dan menuangkannya di dalam rumah pengantin pria.
Dalam pandangan Soekiyah, bisnis rias penganten memang cukup menguntungkan secara finansial. Namun, di balik itu semua sebenarnya ada kepuasan lain yang ia rasakan, yakni ikut memelihara dan menyebarluaskan tradisi dan budaya Jawa, khususnya Solo kepada seluruh masyarakat Indonesia. “Ini sebuah kepuasan yang tidak bisa dinilai secara materi,” ujarnya. (Farid, laporan Sonny-Solo)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar