Minggu, 19 April 2009

Agar Training Lebih Efektif

"Training sejatinya masih diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku karyawan serta untuk mengurangi gap antar karyawan. Tapi, kenyataannya seringkali training yang diberikan tidak berjalan efektif. Bagaimana mengatasinya?"

Seorang motivational trainer sempat menahan kesal lantaran sebagian dari 30-an peserta pelatihan, sejak pagi hari sudah menampakkan gejala ogah-ogahan. Pelatihan motivasi bagi karyawan BUMN yang digelar di kawasan Puncak, Jawa Barat, yang sedianya sudah dimulai pada pukul 08.30, terpaksa molor sampai menjelang pukul 09.30 WIB.

Di tengah-tengah jeda makan siang, sejumlah peserta yang sebagian besar dari luar Jakarta, menyampaikan usulan yang mengagetkan: jadwal penutupan training dipercepat dari semula pukul 17.30 menjadi pukul 16.00. Alasannya, sebagian peserta harus bersiap-siap untuk ke Jakarta sekadar membeli oleh-oleh buat rekan kerja mereka di daerah. Merasa keberadaannya sudah tak diperlukan lagi, trainer tadi akhirnya menyerah kalah. "Daripada saya paksakan tapi peserta sudah tidak antusias kan percuma," ujarnya mengenang.

Konyol? Mungkin ya. Program pelatihan yang dijadwalkan berlangsung dua hari berturut-turut itu akhirnya hanya berlangsung satu setengah hari. Padahal, menurut trainer yang tak bersedia disebut namanya tadi, materi pelatihan adalah paket yang tak bisa dipenggal begitu saja kalau ingin hasilnya maksimal. Tapi apa mau dikata, biaya besar yang dikeluarkan perusahaan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap laku karyawannya, terpaksa terbuang sia-sia.

Di sisi lain, perusahaan sebagai sebuah organisasi bisnis yang terus bergerak, harus pula didukung oleh tim yang memiliki pengetahuan dan keterampian yang tinggi serta sikap laku terpuji. Prasyarat tersebut, paling tidak diharapkan bisa diperoleh melalui berbagai bentuk training, workshop maupun seminar. Terlebih lagi, di lingkungan karyawan sendiri masih terjadi kesenjangan kompetensi sehingga perlu ada upaya untuk memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengejar ketertinggalannya.

Menurut praktisi SDM Cahyo Winarto, training sejatinya merupakan tools yang sangat efektif untuk meningkatkan knowledge, skill and attitude (SKA) karyawan. Alasannya sederhana, efektifitas dan performa sebuah organisasi sangat ditentukan oleh kondisi dan karakter setiap individu yang terlibat di dalamnya. Karena itu, sebuah organisasi yang ingin menyelaraskan dengan perkembangan zaman, sampai berani menganggarkan dana yang cukup besar untuk membiayai program training bagi karyawan. "Tidak semua karyawan punya kualitas dan kompetensi yang sama. Nah, gap inilah yang biasanya diatasi melalui training," kata Cahyo Winarto, Chief Corporate HR Bosowa Group.

Agar training bisa memperoleh manfaat yang optimal, harus diikuti dengan post training program. Bahkan, kalau mau bagus seperti di Astra, kata Cahyo yang pernah berkarir di Group Astra, harus pula ada pra training dan pasca training. Rentang waktunya, paling lama enam bulan. "Selama itulah kita akan evaluasi sampai sejauh mana training tersebut memberi manfaat bagi karyawannya," katanya.

Sebelum mengirim seorang karyawan untuk mengikuti sebuah traning harus dipastikan dulu, apakah orang tersebut punya gap atau tidak. Di bidang apa gap-nya tersebut. Setelah itu, tambah Cahyo, kita tindaklanjuti dengan program pasca traning. Untuk mengetahui apakah seorang karyawan punya gap atau tidak, seorang HR manager harus meminta masukan dari atasan karyawan yang hendak diikutkan training, karena atasan itulah yang tahu persis kondisi timnya.

James Gwee. trainer profesional yang juga Direktur Academia, tak menampik adanya kecenderungan peserta training yang 'seenaknya sendiri' seperti dikisahkan di atas. Menurutnya, keengganan peserta dalam mengikuti sebuah pelatihan lebih banyak disebabkan oleh rendahnya pemahaman akan manfaat training. "Padahal, dengan mengikuti training kita akan di trigger untuk terus-menerus berinovasi dan mencoba hal-hal baru. Kalau tidak pernah ikut training, maka pengetahuan dan keterampilan kita ya itu-itu saja," ujarnya kepada People & Business, beberapa waktu lalu karyawan sebagai bagian sebuah organisasi, perlu tambahan pengetahuan, wawasan dan aspirasi yang bisa diperoleh dari aktifitas seminar dan training. Di sini mereka bisa saling bertemu sehingga bisa saling memotivasi. Karena itu, Harry Bagyo, Presiden Komisaris perusahaan farmasi PT. Merapi Utama Pharma, tetap berpandangan bahwa training merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kinerja karyawan. "Karyawan selama ini terjebak dalam rutinitas kerja sehingga perlu ada kesempatan untuk memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan," Kata Harry yang kini menjadi trainer di bidang marketing.

Meski begitu, James juga melihat dalam beberapa kasus, faktor trainernya juga terkadang menjadi masalah lantaran tak bisa menciptakan suasana menjadi 'hidup' dan peserta menjadi lebh antusias. Di sini, kualitas seorang trainer atau instruktur memang sangat menentukan. Ini pula yang membedakan antara training dengan kegiatan peningkatan pengetahuan lain, misalnya dengan hanya membaca buku atau mengikuti kuliah di ruang kelas. Kelebihan training atau seminar, antara lain karena sang pembicara dapat merangkum dan mebagikan inti sari dari banyak buku yang sudah ia baca, atau menyampaikan pengalaman yang sudah mereka lalui kepada para peserta.

Bahkan, pada sebuah workshop, peserta seringkali dihadapkan pada realita yang disimulasikan di kelas atau di luar kelas. Peserta tidak hanya mendengar, tetapi melihat, mengalami dan merasakan apa yang disampaikan oleh trainer. Nah, untuk menghadirkan suasana seperti itu, tentu saja dibutuhkan trainer yang tidak hanya memiliki banyak referensi dan pengalaman, tapi juga piawai dalam berkomunikasi.

Nur Kuntjoro, senior partner Quantum Consulting punya pandangan yang berbeda. Menurutnya, berhasil tidaknya sebuah program training sangat ditentukan oleh pesertanya sendiri, bukan trainernya. Nur berkeyakinan, keberhasilan seseorang 90% diantaranya diperoleh dari usaha yang bersangkutan. Selebihnya yang 10% didukung oleh motivasi dan inspirasi dari orang lain. "Jadi meskipun trainernya hebat, kalau pesertanya tidak mau mendengar dan mengaplikasikan apa yang diajarkan ya percuma saja," katanya.

KArena itu, agar training benar-benar efektif maka selain dibutuhkan trainer yang berpengalaman, harus pula diimbangi dengan sikap peserta yang memang benar-benar ingin memperoleh manfaat dari training tersebut. Syarat lain, "Training harus dijalankan secara terarah dan sistematis, berkesinambungan serta terstuktur. Sebab pada dasarnya training itu never ending program yang tidak ada henti-hentinya," kata Nur Kuntjoro.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar